Banyak yang kurang menyadari bahwa dalam porsi yang besar, perekonomian Indonesia ditopang juga oleh kegiatan yang berada dalam ekonomi bayangan (shadow economy). Penelitian menyangkut ekonomi bayangan di Indonesia masih amat sedikit. Padahal, ekonomi bayangan adalah persoalan serius, terutama dalam negara yang mengalami perubahan politik yang besar. Di banyak negara yang mengalami perubahan, wilayah ini bisa mencakup lebih dari 50 persen. Barangkali sebagai gambaran saja, beberapa waktu lalu ada yang memperkirakan bahwa import tekstil yang menekan pengusaha domestik hanya sebagian kecil yang legal (Republika.co.id, November 2010 ). Apa karakter dari ekonomi bayangan dan apa implikasi yang mungkin terjadi terhadap perekonomian Indonesia?
Ekonomi bayangan adalah kegiatan ekonomi yang tidak terekam dalam statistik publik, meliputi beragam bentuk dan mendapat banyak istilah, yaitu sektor informal, ekonomi bawah tanah, uang hasil korupsi yang mengalir ke dalamnya sebagai suatu kegiatan ekonomi, dan ekonomi ilegal. Meskipun seringkali hampir semua disamaratakan, sesungguhnya perbedaannya ada. Perbedaan ini harus diketahui karena implikasinya harus diperhitungkan.
Ekonomi ilegal adalah kegiatan ekonomi yang bertentangan dengan peraturan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Ekonomi bawah tanah adalah wilayah dari ekonomi ilegal dengan pengorganisasian produksinya sendiri. Salah satu bagian dari wilayah ini adalah pasar gelap di mana barang-barang terlarang atau yang masuk atau diproduksi dengan tidak mengikuti aturan dijual. Pasar gelap mempunyai konotasi negatif. Penyebab dari munculnya ekonomi ilegal dan pasar gelap adalah lemahnya penegakan hukum dan permintaan masyarakat atas barang tertentu yang tidak mudah diperoleh secara resmi. Karena itu dalam kasus tertentu, kesadaran hukum, pengetahuan masyarakat, dan gaya hidup bisa menjadi faktor berkembangnya pasar gelap.
Sektor informal adalah kegiatan ekonomi yang tidak terdaftar jalur kegiatan produksinya secara resmi, seperti propertinya, jumlah produksi, kontrak, yang bisa berkaitan dengan pajak. Perekonomian Indonesia sebagian besar, perkiraannya 75 juta orang lebih atau lebih dua kali dari sektor formal, berada di sektor informal. Penyebab besarnya sektor informal antara lain birokrasi yang rumit, pajak yang terlalu tinggi, lemahnya institusi hukum, dan gagalnya kebijakan ekonomi negara. Sektor ini tidak memiliki konotasi negatif, bahkan sering diakui sebagai katup pengaman dari gagalnya pembangunan ekonomi oleh negara.
Aspek negatif dari ekonomi bayangan tergantung pada macam kegiatan yang ada di sana. Keberadaan sektor informal di Indonesia tidak bisa dikatakan serta-merta suatu keadaan yang jelek dari sudut kepentingan ekonomi rakyat. Sebagian orang berargumen bahwa sektor ekonomi formal memudahkan pemasukan dan penggunaan pajak oleh negara. Namun, dalam kondisi Indonesia saat ini, bahkan institusi negara yang paling depan dalam mereformasi organisasi masih jauh dari akuntabilitas.
Reformasi lembaga harus lebih meluas dan mendalam, termasuk kondisi perpajakan daerah yang belum banyak tereformasi. Tingkat korupsi di pelbagai lembaga lain sangat tinggi, sehingga seakan para pembayar pajak memberi minum kuda Don Quixote (kuda yang minum terus-menerus karena air terbuang dari bagian badannya yang terpotong), tokoh imajiner dari Spanyol yang terkenal itu. Selain itu, apakah artinya diformalkan jika pemerintah tidak mampu membuat skema pembangunan ekonomi yang jelas, termasuk meberikan dukungan yang dibutuhkan para pelaku ekonomi rakyat?
Kita harus memberikan penilaian yang lain pada ekonomi bawah tanah karena lebih berbahaya. Wilayah ini sering bersatu dengan para aktor yang duduk di sektor publik dan formal. Jaringan di sini bisa menghambat persaingan, membuat ekonomi biaya tinggi dan mempengaruhi kebijakan negara jika sudah begitu kuat. Para koruptor sangat mungkin tergoda untuk meinginvestasikan (kembali) uangnya di wilayah ini.
Kegiatan ekonomi bawah tanah dapat masuk ke sektor formal dengan tetap menyembunyikan bagian yang seharusnya masuk ke kas negara sekaligus mencuci uangnya. Media massa telah melaporkan, misalnya garmen ilegal membanjiri toko-toko yang berstatus formal, di mana pemerintah daerah mengambil pajak dari padanya. Pemerintah daerah semacam ini tampak hanya peduli pada pendapatan daerah yang cepat dan tidak mau memikirkan perkembangan ekonomi rakyat domestik yang tertekan oleh garmen murah dari luar. Akibatnya perekonomian rakyat tidak berkembang dan “pertumbuhan” ekonomi yang dibangga-banggakan pemerintah sesunggunya sangat bertumpu pada sektor konsumsi.
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas Indonesia
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar