Kasus Bintek yang melanda DPRD Surabaya akhir-akhir ini berdampak luas. Ini tidak hanya mengakibatkan gesekan antara sesama anggota tapi juga pada kepentingan masyarakat. Pengaduan PKL RSAL yang beberapa waktu lalu dirasia Satpol PP misalnya, tak bisa diproses.
Konflik serius antar anggota dewan itu bermula dari pemintaan kepada seluruh anggota DPRD Surabaya agar mau menandatangani surat pernyataan bahwa kasus bimbingan teknis tanggungjawab seluruh anggota DPRD Surabaya. Mereka yang tak mau menandatangani surat pernyataannya, aktivitasnya sebagai anggota DPRD Surabaya dibatasi.
Ini misalnya terjadi pada kasus kunjungan kerja Komisi A ke DPRD dan Pemkot Denpasar Bali pada 6 Juni 2011. Kunker yang semula akan diikuti 13 anggota diubah menjadi 10 orang karena yang tiga orang anggota komisi A menolak menandatangani surat pernyataan.
Dampak lain, mereka yang menolak menandatangani surat pernyataan, tidak akan diikutkan dalam rencana kunjungan ke luar negeri. Ketua Komisi B, Moch Mahmud yang tidak ikut ke Amerika.mengatakan, "Ada tidaknya persoalan bintek, saya tidak ikut ke luar negeri karena saya lebih suka tunggu rumah saja," katanya kepada Surabaya Raya, Jumat, 22 Juli 2011.
Tentang pengaduan PKL RSAL yang terkena rasia Satpol PP, Mahmud yang berkapasitas sebagai Ketua Komisi B, juga mengaku tidak bisa memproses karena berkaitan dengan kasus Bintek. Ia termasuk yang tidak menandatangani surat pernyataan. Karena itu permintaannya ke atas untuk memproses pengaduan PKL RSAL dipending.
Ia menyadari kekecewaan APKLI yang sudah memperjuangkan nasib anggotanya yang terkena rasia. Tapi saat ini, ia tak bisa berbuat apa-apa, karena dewan itu merupakan suatu lembaga. Komisi B tidak bisa bertindak sendiri membahas rasia PKL. Harus ada persetujuan dari pimpinan dewan.
Karena merasa haknya dipasung, sebanyak 22 anggota DPRD Surabaya melayangkan surat somasi pada Ketua Dewan Wishnu Wardhana (WW). Sampai sekarang surat somasi sudah dilayangkan sebanyak dua kali. Mereka menolak hak-haknya dikebiri karena tidak menandatangani surat pernyataan itu.
Seperti diberitakan Sindo, Sabtu, 23 July 2011, para anggota DPRD Surabaya yang menolak mendatangani surat pernyataan telah menunjuk kuasa hukum, Abdul Salam & Associated. Mereka yang ikut memberikan kuasa adalah penasihat Fraksi Partai Golkar (FPG) Adies Kadir, anggota FPG Erick Reginal Tahalele, dan Sekeratris Fraksi Partai Demokrat (FPD) Junaedi. Surat somasi ditandatangani perwakilan fraksi, yakni Junaedi dari FPD, Erick Reginal Tahalele (FPG),dan M Naim Ridwan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FPKB).
”Ini adalah somasi terakhir, jika tidak diindahkan maka kami akan melayangkan surat gugatan ke pengadilan dan kepolisian (Polda Jatim) pada Kamis (28/7) mendatang,” terang Abdul Salam. Somasi dua disampaikan, kata Abdul Salam, karena somasi pertama pada 15 Juli lalu tidak direspon WW. Dasar somasi dua tidak berbeda jauh dengan somasi pertama, yakni WW dinilai telah memasung hak dan menghambat kinerja anggota DPRD lewat pembatasan kegiatan anggota dewan, kunker,bintek,konsultasi,dan lainnya.
Semua pembatasan hak anggota menyalahi pasal 29 ayat 1 Peraturan DPRD Surabaya Nomor 5/2010 tentang tata tertib DPRD mencantumkan hak dari pada anggota DPRD. Dalam peraturan tersebut anggota DPRD mempunyai hak untuk mengikuti orientasi pelaksanaan tugas sebagai anggota dewan pada awal masa jabatan serta mengikuti pendalaman tugas pada masa jabatannya.
Pasca gugatan ke Pengadilan maupun Polda, sebut Abdul Salam, pihaknya juga akan meminta Mendagri melalui Gubernur Jatim untuk menonaktifkan WW dari posisinya sebagai ketua dewan. Alasannya, sikap WW yang demikian akan berimbas ke warga Surabaya. Sebab, masing-masing anggota dewan berkewajiban bertanggungjawab ke konstituen dan warga.
Upaya somasi ditempuh untuk kembalinya hak anggota dewan. Pemberian hak terkandung sebuah kewajiban bagi setiap anggota dewan untuk mengetahui tugas dan wewenang yang diembannya selaku wakil rakyat secara profesional dalam sebuah lembaga perwakilan. Pasal 52 huruf g tatib, juga disebutkan setiap anggota dewan memiliki tugas melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota komisi.
Mereka, Erick Reginal Tahalele, M Naim Ridwan, Luthfiyah. Penolakan tanda tangan menjadi gerakan hingga ada 22 orang anggota dewan. Penasihat FPG Adies Kadir menambahkan, hak-hak anggota dewan jangan dipasung dengan tidak meneken surat pernyataan dari WW.”Kami minta surat tersebut (surat dari Wishnu) dicabut.Kemudian dijelaskan dengan baik-baik kepada anggota dewan melalui mekanisme yang benar, bisa lewat Banmus atau pripurna,”katanya.
Sementara Fraksi Partai Golkar DPRD Surabaya menginstruksikan semua anggota untuk tidak absen sidik jari (finger print). Hal ini kemarin disampaikan penasihat FPG DPRD Surabaya Adies Kadir. ”Anggota dewan punya tanggung jawab pada konstituen. Jadi kalau tidak datang ke DPRD, bukan berarti tidak ngantor.Karena itu saya sudah instruksikan anggota (FPG) untuk tidak absen,”tandasnya.
Sementara itu Munir, Ketua PKL RSAL yang tergusur, di kantor APKLI Jl. Pogot mendesak DPRD Surabaya segera memproses pengaduan mereka. Sebanyak 41 PKL (bukan 35) kini hidupnya terkatung-katung karena kehilangan nafkah. Tuntutannya, PKL diperbolehkan berdagang pada pukul 09.00 - 03.00.
Ini misalnya terjadi pada kasus kunjungan kerja Komisi A ke DPRD dan Pemkot Denpasar Bali pada 6 Juni 2011. Kunker yang semula akan diikuti 13 anggota diubah menjadi 10 orang karena yang tiga orang anggota komisi A menolak menandatangani surat pernyataan.
Dampak lain, mereka yang menolak menandatangani surat pernyataan, tidak akan diikutkan dalam rencana kunjungan ke luar negeri. Ketua Komisi B, Moch Mahmud yang tidak ikut ke Amerika.mengatakan, "Ada tidaknya persoalan bintek, saya tidak ikut ke luar negeri karena saya lebih suka tunggu rumah saja," katanya kepada Surabaya Raya, Jumat, 22 Juli 2011.
Tentang pengaduan PKL RSAL yang terkena rasia Satpol PP, Mahmud yang berkapasitas sebagai Ketua Komisi B, juga mengaku tidak bisa memproses karena berkaitan dengan kasus Bintek. Ia termasuk yang tidak menandatangani surat pernyataan. Karena itu permintaannya ke atas untuk memproses pengaduan PKL RSAL dipending.
Ia menyadari kekecewaan APKLI yang sudah memperjuangkan nasib anggotanya yang terkena rasia. Tapi saat ini, ia tak bisa berbuat apa-apa, karena dewan itu merupakan suatu lembaga. Komisi B tidak bisa bertindak sendiri membahas rasia PKL. Harus ada persetujuan dari pimpinan dewan.
Karena merasa haknya dipasung, sebanyak 22 anggota DPRD Surabaya melayangkan surat somasi pada Ketua Dewan Wishnu Wardhana (WW). Sampai sekarang surat somasi sudah dilayangkan sebanyak dua kali. Mereka menolak hak-haknya dikebiri karena tidak menandatangani surat pernyataan itu.
Seperti diberitakan Sindo, Sabtu, 23 July 2011, para anggota DPRD Surabaya yang menolak mendatangani surat pernyataan telah menunjuk kuasa hukum, Abdul Salam & Associated. Mereka yang ikut memberikan kuasa adalah penasihat Fraksi Partai Golkar (FPG) Adies Kadir, anggota FPG Erick Reginal Tahalele, dan Sekeratris Fraksi Partai Demokrat (FPD) Junaedi. Surat somasi ditandatangani perwakilan fraksi, yakni Junaedi dari FPD, Erick Reginal Tahalele (FPG),dan M Naim Ridwan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FPKB).
”Ini adalah somasi terakhir, jika tidak diindahkan maka kami akan melayangkan surat gugatan ke pengadilan dan kepolisian (Polda Jatim) pada Kamis (28/7) mendatang,” terang Abdul Salam. Somasi dua disampaikan, kata Abdul Salam, karena somasi pertama pada 15 Juli lalu tidak direspon WW. Dasar somasi dua tidak berbeda jauh dengan somasi pertama, yakni WW dinilai telah memasung hak dan menghambat kinerja anggota DPRD lewat pembatasan kegiatan anggota dewan, kunker,bintek,konsultasi,dan lainnya.
Semua pembatasan hak anggota menyalahi pasal 29 ayat 1 Peraturan DPRD Surabaya Nomor 5/2010 tentang tata tertib DPRD mencantumkan hak dari pada anggota DPRD. Dalam peraturan tersebut anggota DPRD mempunyai hak untuk mengikuti orientasi pelaksanaan tugas sebagai anggota dewan pada awal masa jabatan serta mengikuti pendalaman tugas pada masa jabatannya.
Pasca gugatan ke Pengadilan maupun Polda, sebut Abdul Salam, pihaknya juga akan meminta Mendagri melalui Gubernur Jatim untuk menonaktifkan WW dari posisinya sebagai ketua dewan. Alasannya, sikap WW yang demikian akan berimbas ke warga Surabaya. Sebab, masing-masing anggota dewan berkewajiban bertanggungjawab ke konstituen dan warga.
Upaya somasi ditempuh untuk kembalinya hak anggota dewan. Pemberian hak terkandung sebuah kewajiban bagi setiap anggota dewan untuk mengetahui tugas dan wewenang yang diembannya selaku wakil rakyat secara profesional dalam sebuah lembaga perwakilan. Pasal 52 huruf g tatib, juga disebutkan setiap anggota dewan memiliki tugas melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota komisi.
Mereka, Erick Reginal Tahalele, M Naim Ridwan, Luthfiyah. Penolakan tanda tangan menjadi gerakan hingga ada 22 orang anggota dewan. Penasihat FPG Adies Kadir menambahkan, hak-hak anggota dewan jangan dipasung dengan tidak meneken surat pernyataan dari WW.”Kami minta surat tersebut (surat dari Wishnu) dicabut.Kemudian dijelaskan dengan baik-baik kepada anggota dewan melalui mekanisme yang benar, bisa lewat Banmus atau pripurna,”katanya.
Sementara Fraksi Partai Golkar DPRD Surabaya menginstruksikan semua anggota untuk tidak absen sidik jari (finger print). Hal ini kemarin disampaikan penasihat FPG DPRD Surabaya Adies Kadir. ”Anggota dewan punya tanggung jawab pada konstituen. Jadi kalau tidak datang ke DPRD, bukan berarti tidak ngantor.Karena itu saya sudah instruksikan anggota (FPG) untuk tidak absen,”tandasnya.
Sementara itu Munir, Ketua PKL RSAL yang tergusur, di kantor APKLI Jl. Pogot mendesak DPRD Surabaya segera memproses pengaduan mereka. Sebanyak 41 PKL (bukan 35) kini hidupnya terkatung-katung karena kehilangan nafkah. Tuntutannya, PKL diperbolehkan berdagang pada pukul 09.00 - 03.00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar