Salam Pemberdayaan Yes, Penggusuran No ! DPD APKLI Surabaya 2011-2014

Selasa, 06 September 2011

Modal Nekat Para Pendatang



Print
Kesuksesan usaha kuliner tak hanya ditentukan dengan besaran modal dan kemewahan ruang penyajian. Bisa jadi kesuksesan usaha datang dari sebuah ruangan sederhana di pinggir jalan dan hanya bermodalkan nekat.
Seperti cerita sukses para wiraswastawan kuliner di Kota Pahlawan. Asap tebal mengepul dari sudut gang di Jalan Pucang Anom Timur. Pada saat bersamaan, bau harum daging bakar menyeruak menusuk hidung. Aromanya begitu kuat, sehingga para pengendara yang melintas pun menoleh penasaran.

Bagi yang belum tahu, mungkin akan mengira jika asap penggoda selera itu berasal dari restoran mewah yang menyajikan aneka daging bakar berharga mahal.Tetapi begitu mendekat mereka pasti terbelalak. Sebab asap hasil bakaran daging ayam itu hanya berasal dari bekas bangunan toko kecil. Tampilan warungnya pun tak begitu meyakinkan. Tak ada pintu kaca atau aneka desain interior menarik layaknya rumah makan bercitarasa istimewa. Satu-satunya tulisan hanyalah banner dari kain putih yang membentang di bagian depan warung.

Di situ di tulis ’Sate Ayam Pak Seger, Asli Ponorogo’. Begitulah tampilannya,ruangan berukuran 5x10 meter itu dibiarkan terbuka. Pengunjung bisa keluar-masuk dari berbagai arah. Begitu juga dengan enam meja makan panjang yang hanya ditata seadanya. Tetapi meski tampilan warung biasa-biasa saja, pengunjung tetap saja mengalir.Mereka seakan tak peduli dengan suasana warung. Terpenting rasa dari menu yang disajikan. Sepanjang lidah bisa bergoyang dan bisa merasakan kelezatan masakan, mereka pasti akan tetap datang.

Kelezatan itulah kiranya yang dirasakan para pengunjung sate Pak Seger selama ini. Buktinya, hampir tiap hari warung ini selalu penuh. Pemandangan seperti itu bisa dilihat saban hari setiap pukul 09.00 WIB. Saat itu deretan mobil dan motor sudah berjajar didepan warung.Padahal pada jam tersebut warung baru saja dibuka dan para karyawan tengah berbenah. Namun, seolah takut tidak kebagian jatah, para calon pembeli tetap rela mengantre, sekalipun harus menunggu hampir satu jam.Sejak saat itulah, penungjung terus berdatangan hingga seluruh setok sate ayam Pak Seger habis.

Luar biasa memang. Sebab setiap hari, rata-rata warung sate ini menghabiskan 150 ekor ayam.Atau lebih dari 5.000 tusuk sate setiap kali buka.Padahal warung tersebut hanya buka 12 jam,mulai dari pukul 09.00 WIB sampai 21.00 WIB. Praktis omzet penjualan sate ayam ini pun luar biasa besar. Pemilik warung sate, Mujiatin, 59 yang juga istri Pak Seger mengaku rata-rata pendapatan mencapai Rp8 juta/ hari.Namun khusus hari Sabtu dan Minggu omzet bisa naik menjadi Rp10 juta. ”Sabtuminggu banyak karyawan libur. Jadi pengunjung lebih ramai,” tuturnya.

Kini hasil dari bisnis kuliner Mujiatin pun kian sukses. Bagaimana tidak, dari hasil sate ayam tersebut Mujiatin berhasil menguliahkan dua orang puteranya. Tak hanya itu,istri Pak Seger ini juga telah membeli dua unit rumah mewah di Jalan Kertajaya. ”Semua adalah hasil dari warung sate ini,” akunya. Mujiatin mengaku, dirinya tidak pernah mengira Sate Ayam Ponorogo bikinannya bisa sukses seperti saat ini. Sebab menu kuliner di Surabaya jumlahnya tak terhitung dengan aneka jenis dan bentuk berbeda-beda. Memang,membawa identitas daerah ke daerah lain bukanlah perkara gampang.

Selain asing ditelinga orang Surabaya, nama itupun harus berhadapan dengan aneka jenis kuliner modern yang begitu menjamur di kota metropolitan ini. Namun,tantangan tersebut mampu dijawab oleh Mujiatin hingga menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan. Sehingga Sate Ayam Ponorogo miliknya pun mampu bersanding dengan sejumlah restoran siap saji, layaknya KFC, Mc’Donald serta sejumlah restoran lainnya. ”Saya tidak pernah minder dengan nama Ponorogo yang saya pakai. Justru saya malah tertantang untuk mengenalkannya kepada orang Surabaya dan penduduk dari daerah lain di kota ini.

Bahwa kota sekecil Ponorogo punya menu khas yang menggugah selera. Alhamdulillah, semua orang menerimanya dengan baik” katanya. Bagaimana tidak, kebanyakan penikmat Sate Ayam Pak Seger ini justru bukan dari Ponorogo sendiri.Melainkan dari daerah lain. Bahkan warga keturunan China pun banyak yang ketagihan dan menjadi pelanggan tetap diwarungnya. Saking ketagihannya, tak jarang para pelanggan lama yang sudah hijrah ke daerah lain tetap menginginkan sate Pak Seger ini.Kebanyakan mereka adalah para perantau yang dulu lahir dan besar di Surabaya.

Caranya,mereka membeli dengan cara dipaketkan ”Saya juga tidak tahu kenapa orang begitu suka.Padahal sate buatan saya ini tak jauh beda dengan sate ayam pada umumnya. Ya mungkin lidah mereka sudah kadung cocok, sehingga sate saya tetap jadi pilihan,”katanya meyakinkan diri. Disinggung mengenai bumbu sate yang dibuat, Mujiatin juga mengaku tidak berbeda dengan bumbu sate kebanyakan.” Tidak ada yang istimewa dengan bumbu sate buatan saya.Semuanya sama.Terpenting adalah rasanya enak, sehingga orang senang,”tukas perempuan keturunan Ponorogo ini.

Salah seorang pelanggan, Indra menuturkan, selain enak, potongan sate ayam Pak Seger memang besar-besar. Yakni seukuran ibu jari orang dewasa. Sementara setiap tusuk sate berisi potongan sate murni.Artinya, tidak ada campuran kulit atau yang lain. ”Antara daging dan kulit benar-benar dipisah.Sehingga yang kepingin daging ayam saja bisa puas memakannya. Begitu juga dengan yang suka kulit.”tuturnya Selain sate ayam Pak Seger, masih ada puluhan pengusaha kuliner asal luar daerah lain yang juga survive di Surabaya.

Sebut saja Soto Madura di Jalan Raya Gubeng,Masakan Padang di Jalan Kertajaya serta Pecel Lele Lamongan di Jalan Semolowaru. Seperti halnya sate ayam Pak Seger. Hasil bisnis kuliner yang mereka rintis juga mengantarkan mereka sebagai pendatang yang sukses.Pemilik warung pecel Lele Lamongan, Fathul misalnya saat ini menjadi raja penyetan di kawasan kampus Unitomo. Sama dengan Sate Ayam Pak Seger, warung pecel lele milik warga asli Lamongan ini juga terbilang sederhana.Walau begitu warung ini terbilang ramai dengan jumlah pembeli yang luar biasa banyak. Bagaimana tidak baru sekitar lima tahun usaha warung ini dirintis Fathul sudah bisa membeli satu unit rumah.

Tak hanya itu dia juga bisa membiayai kuliah sendiri, begitu juga dengan empat orang adiknya. ”Semua kami biayai dari warung ini. Walau dari desa,kami ingin keluarga kami melek pendidikan. Sehingga nasib kami terangkat,” pungkasnya. Data di Dinas Koperasi dan UKM di Surabaya menunjukan, jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) jenis kuliner mencapai ribuan.Mereka tersebar di berbagai sudut kota mulai dari wilayah Surabaya Barat, Timur, Selatan, Utara hingga pusat tengah kota. Sebagian besar dari pelaku usaha ini adalah pendatang dari luar kota.

Mereka mengadu nasib dengan berbekal tekad dan mimpi menjadi sukses. Salah seorang penjual Pangsit Mie Ayam di kawasan Semolowaru, M Lazim menuturkan, hidup di kota besar seperti Surabaya harus berani berpetualang. Sebab jika tidak, maka akan mati sendiri. ”Mau cari uang darimana kalau tidak dengan cara seperti itu. Wong kita juga tidak berpengalaman menjadi orang kantoran,”tuturnya. Usaha ini pula yang dia lakukan saat kali pertama masuk di Surabaya 2009 silam. Saat itu, dia hanya berbekal uang Rp2 juta di kota ini.Agar tidak habis begitu saja, dia pun memberanikan diri membuka usaha kuliner. ”Usaha ini kami pilih karena mudah.Paling hanya mencari tempat mangkal dan rumah kos saja.

Setelah itu uang bisa diputar,”ujarnya. Namun proses terakhir ini lanjut Lazim butuh perjuangan keras.Butuh waktu lumayan lama untuk mengenalkan produk hingga akhirnya mengena dihati pelanggan.”Saya sendiri awalnya berjualan keliling kampung.Lama kelamaan akhirnya mendapat tempat dan menetap disini.Kuncinya adalah sabar dan telaten,serta berani berpetualang,” bebernya. ihya’ ulumuddin
 
coverjatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar