A. POKOK PIKIRAN
Banyak predikat yang disandangkan bagi PKL, mereka dikatakan kotor, kumuh dan tidak bertanggung jawab terhadap kebersihan dan keindahan kota, serta kesehatan lingkungan dimana mereka berjualan. Sebagian besar dari meraka menempati tempat yang dinilai strategis dan mudah memperoleh pembeli, terutama di tempat-tempat yang seharunya tidak dibenarkan adanya kegiatan usaha, misalnya di trotoar, di berm jalan utama, lahan di kanan kiri rel kereta api, di lapangan terbuka, dan di jalur-jalur hijau.
Namun dibalik itu semua PKL menjadi katup pengaman ekonomi Bangsa, mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, perannya bisa membantu mengatasi
problem ketenaga kerjaan, pengangguran, dan pengentas kemiskinan. Maka semua pihak yang berkepentingan khususnya Pemkot perlu secara sungguh-sungguh mencari solusi terbaik didalam mengatasi semua problem yang dihadapi dan ditimbulkan oleh PKL tersebut dengan menyusun konsep tentang penataan, dan penyediaan lahan sesuai dengan rencana tata ruang kota.Namun dibalik itu semua PKL menjadi katup pengaman ekonomi Bangsa, mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, perannya bisa membantu mengatasi
Solusi yang kami anggap bermanfaat adalah dimulainya sosialisasi
Program secara menyeluruh kepada masyarakat kota. Kebijakan-kebijakan yang menyangkut harkat dan martabat orang banyak perlu adanya perhatian khusus dari Walikota. Tatanan yang perlu ditindak lanjuti adalah diadakan pendataan, penataan, dan pembinaan bagi semua PKL yang ada di Surabaya. Tidak menutup kemungkinan apabila dilakukan sharing program antara pengambil kebijakan, pengusaha, dan DPD APKLI Surabaya. Upaya yang paling penting adalah menumbuh kembangkan pelaku ekonomi mikro sektor informal yang sebelumnya dimarginalkan.
1. Pengertian Pedagang Kaki Lima
Yang di maksud dengan Pedagang Kaki Lima adalah Pelaku ekonomi mikro, kecil yang menjajakan barang atau jasa dengan mengharapkan keuntungan.
Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :
- Pedagang kecil, tidak mempunyai tempat berjualan
- Mereka menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum atau di pusat-pusat keramaian, banyak pula yang di trotoar.
- Tidak menggunakan badan usaha.
- Belum memiliki izin usaha.
- Tenaga kerja terdiri dari 1 sampai 5 orang yang pada umumnya berasal dari kalangan keluarga.
- Melakukan kegiatan di jam-jam tertentu dan di hari tertentu.
- Ada yang berkeliling menggunakan gerobak dorong atau angkring yang dipikul, atau menetap dengan tenda atau tanpa tenda.
- Tidak menetap atau menetap dengan bangunan semi permanen di tempat yang di sediakan.
- Menggunakan modal sendiri atau keluarga, dan belum di sentuh oleh lembaga keuangan modern.
- Mereka bebas kapan memulai dan menutup usahanya, atau beralih usaha yang lain.
- Jenis dagangan terdiri dari barang dan jasa, misalnya makanan/minuman, majalah/koran/buku, pakaian, sepatu, aksesoris, bengkel motor, pembuatan stempel/plat nomor, kunci, tambal ban, barang bekas dll.
Dalam beberapa kasus khususnya di kota-kota besar, kehadiran Pedagang Kaki Lima sering di pandang sebagai hal yang mengganggu lalu lintas dan merusak keindahan kota. Sudah sering Pemerintah Kota/kabupaten melakukan penggusuran yang di bungkus dengan penertiban-penertiban, namun mereka muncul lagi sesaat sesudah penggusuran usai. Resistensi (pertentangan) kepentingan antara keindahan dan ketertiban kota di satu pihak dengan kebutuhan bertahan hidup warga pedagang tampaknya tidak kunjung usai dan menjadi persoalan berkepanjangan.
Melihat realita diatas semua pihak perlu melihat persoalan secara adil dan manusiawi dengan cara memahami persoalan yang lebih baik untuk dicarikan solusi yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut beberapa catatan berikut ini patut untuk dijadikan pertimbangan.
a) Secara realita jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah tidak sebanding dengan pertambahan kesempatan kerja setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini berkisar 6% menyebabkan terus membengkaknya jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung sehingga memunculkan pengangguran dimana-mana (saat ini angka pengangguran terbuka mencapai 8.12 juta orang).
b) Pengangguran di pedesaan yang terutama disebabkan pertumbuhan desa yang cuma 4% dan semakin menipisnya lahan-lahan pertanian (baik karena konversi maupun pewarisan dengan jumlah pewaris yang makin besar yang berakibat penyempitan lahan yang dimiliki per keluarga tani) serta kurang terbukanya kesempatan kerja pedesaan diluar sektor pertanian menyebabkan urbanisasi terus meningkat. Para urban yang tidak memiliki keterampilan khusus selain pertanian serta terbatasnya lapangan kerja di sektor formal menyebabkan mereka terjun ke pekerjaan sektor informal, termasuk diantaranya sebagai pedaganga kaki lima.
c) Dalam Undang-Undang Dasar 1945 negara menjamin pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi warganya. Oleh karena itu tugas pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah kabupaten/kota, adalah membantu warga negara yang berada dalam wilayah kerjanya, untuk mendapatkan pekerjaan demi tercapainya kehidupan yang layak.
B. Penataan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan
Dari sudut pandang konsep informalitas perkotaan, fenomena PKL di perkotaan di pandang bukanlah sebagai kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan (Deden Rukmana, 2005). Menurut Deden, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan kerja di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian di industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak di dasari pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan system perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Dominasi sekolah Chichago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan di dominasi oleh sektor-sektor formal yang memilki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marginal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan. (Urban Poorlinkage Indonesia 2005, uplink@uplink.or.id ).
C. TUJUAN
Tujuan yang hendak di capai adalah :
1. Untuk menata, membina, dan memberdayakan PKL sebagai aset wisata kota, agar dapat berperan maksimal dan menfungsikan dirinya sebagi ujung tombak pemasaran segala macam produk unggulan daerah.
2. Untuk mengubah citra PKL yang selama ini selalu dianggap menjadi kendala kota terutama dalam hal kebersihan, ketertiban dan keindahan.
3. Untuk membantu mempercepat proses tata kelola penataan PKL.
4. Mengakui keberadaan PKL dan memeperlakukan sejajar dengan pelaku ekonomi yang lain.
Selanjutnya potensi dan masalah PKL dalam pengembangan penataan kota di jabarkan sebagai berikut :
C. POTENSI
1. PKL merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) apabila dikelola secara professional dan transparan.
2. PKL telah berfungsi sebagai salah satu alternatif dalam mengurangi pengangguran.
3. PKL melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi menengah kebawah.
D. MASALAH
1. Keberadaan PKL cenderung mengganggu ketertiban umum/ keindahan kota serta merusak sarana dan prasarana kepentingan umum, seperti terpangkasnya jalur hijau untuk pejalan kaki.
2. Timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya mengendalikan perkembangan PKL.
3. Pada umumnya PKL menghendaki suatu tempat tertentu untuk menjalankan usahanya.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana peran kebijakan tata Ruang Kota
Ada tiga hal yang sebenarnya menjadi pedoman untuk menyusun suatu rencana tata ruang kota antara lain adalah :
1. Proses rencana tata ruang kota
2. Pemanfaatan tata ruang
3. Pengendalian pemanfaatan ruang.
Tiga fungsi tersebut saling terkait satu sama lain, fungsi perencanaan akan diteruskan oleh fungsi pemanfaatan ruang, sedangkan fungsi pengendalian merupakan evaluasi dari pelaksanaan pemanfaatan yang terencana dan selanjutnya sebagai hasil dari evaluasi tersebut akan di susun suatu perencanaan kembali dengan memperhatikan perkembangan yang ada.
Salah satu diantara tujuan dari penataan ruang di dalam UU No 26 / 2007 adalah upaya untuk lebih mengefektifkan fungsi penataan ruang sebagai pendekatan strategis dalam pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kegiatan sektor informal/PKL harus masuk dalam tata ruang kota ? Tiada lain hanyalah untuk mengakomodir segala sarana dan prasarana penduduk kota yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu lingkungan yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat kota. Peran pengembangan tata ruang kota dalam sektor informal ini adalah sebagai pengendali perkembangan PKL guna menekan dampak negatif yang di timbulkannya. Sedangkan penataan ruang di susun untuk menyediakan tempat / ruang (bukan bangunan) yang langsung ditindaklanjuti dengan pengembangan dan pengendalian secara kontinyu.
Alokasi ruang bagi PKL di kawasan umum seperti tempat-tempat peribadatan, perkantoran, perhotelan, plaza-plaza, pabrik dan gedung pemerintahan termamsuk gedung DPRD dan kampus perguruan tinggi. Pelayanan umum seperti PLN, PDAM, TELKOM dan yang sejenisnya sebaiknya berada di lokasi yang disediakan sehingga tidak mengganggu atau merusak ruang di kawasan tersebut. Keberadaan PKL tersebut perlu di kaji lebih lanjut agar dapat menjadi salah satu bagian arsitektur perkotaan yang ikut membentuk tata ruang kota.
E. LANGKAH LANGKAH YANG HARUS DI TEMPUH
1. Melakukan pendataan dan penataan PKL secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan instansi terkait bersama Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) yang tahu segala permasalahan baik problem yang dihadapi maupun yang di ciptakannya.
2. Mendata seluruh lahan fasilitas umum, baik milik pemerintah kota maupun swasta termasuk lahan tidur (tanah tak bertuan).
3. Merevisi Perda No.17/2003 sebagai payung hukum yang dapat melindungi PKL.
4. Melakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan
5. Memberikan kemudahan untuk mendapatkan pinjaman modal usaha dengan bunga lunak dan persyaratan yang tidak berbelit-belit.
Untuk mewujudkan impian ini tidaklah mudah, dan kondisi ini akan tercapai bilamana ada reaksi positif antara pemerintah sebagai pengelola kota, DPR dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap PKL. Tak kalah lebih pentingnya lagi peranan kampus dan media elektronik sebagai penyalur informasi akibat tersumbatnya aspirasi, semangat dan keinginan PKL untuk menyamakan visi dan misi yang di harapkan oleh Pemkot dan APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia) sebagai wadah perhimpunan ikut berperan serta memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi kota Surabaya tercinta.
Pengurus,
DPD APKLI Kota Surabaya
Deky Sugeng A, SE
K e t u a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar