SURABAYA- Peraturan walikota (Perwali) yang mengatur keberadaan mini market di Kota Surabaya ternyata banci. Masalahnya Perwali No. 35/2010 tentang Pelayanan di Bidang Usaha Perdagangan dan Perindustrian yang diterbitkan 13 Juli 2010 ternyata tidak mengatur jarak pasti pendirian antara mini market yang satu dengan yang lainnya.
Dalam isi ketentuanya di pasal 46 Ayat 4 butir a dan b hanya menyebutkan lokasi pendirian mini market baru harus memperhatikan hypermarket (mini market) atau pasar tradisional yang sudah ada. Dan menciptakan iklim usaha yang sehat antara hypermarket dan pasar tradisional.
Sedangkan dalam ayat 5 butir a dan b disebutkan, pendirian mini market baik yang berdiri sendiri maupun yang terintergrasti dengan pusat perbelanjaan atau bangunan lain wajib memperhatikan kepadatan penduduk dan perkembangan permukiman baru.Tak dijelaskan lebih konkretnya bagaimana tingkat kepadatannya.
Dengan ketentuan itu, sama artinya jarak antara mini market dalam satu wilayah seperti yang terjadi selama ini tidak akan dibatasi. Pemkot tetap akan membolehkan banyak mini market meski jarak antar mini market saling berdekatan.
Dalam perwali yang merupakan penjabaran dari Perda Nomor 10 Tahun 2010 tentang Penataan Usaha Perdagangan dalam pengaturannya hanya akan membatasi jumlah mini market dalam satu kawasan. Penghitungannya sesuai dengan kebutuhannya.
Agus Sudarsono, anggota komisi C DPRD Surabaya mengatakan, perwali mini market memang terkesan banci. Pengaturan jarak mini market yang satu dengan yang lainnya tidak diatur di dalamnya. Padahal yang dipermasalahkan warga saat ini adalah menjamurnya mini market di Surabaya. Sebab, pendirian mini market itu juga tidak mengenal perkampungan. Ada yang dekat dengan toko warga atau pasar tradisional. Bahkan, antarmini market yang satu dengan yang lain saling berhimpitan dan dalam satu kawasan yang sama.
“Kami selama ini getol mempertanyakan masalah tersebut sekaligus mencarikan solusinya. Tapi, kok perwalinya tidak jelas alias banci. Ini membuat kami kecewa dan patut menyayangkannya,” kata dia.
Menurut dia, seharusnya di dalam perwali dibuat aturan soal jarak pendirian mini market yang satu dengan yang lain. Jarak yang edial dalam pendirian mini market yang satu dengan yang lainnya minimal 2 km. Tapi, perwali mini market ini justru tidak membatasi jarak tersebut.
Fakta ini, lanjutnya, sama artinya pemkot mengabaikan usulan dewan terkait dengan masalah jarak pendirian mini market.
“Kalau begini faktanya, kami tidak bisa mengusik mini market yang didirikan saling berhimpitan dengan toko klontong warga atau pasar tradisonal. Warga pemilik toko klontong akan tetap jadi korban usaha perdagangan toko modern tersebut, karena barang dagangannya tidak laku dan bangkru,” ungkap politisi asal Partai Golkar tersebut.
Sementara Arif Daransyah, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Pemkot Surabaya mengatakan, dalam perwali itu, memang pemkot tidak mengantur berapa jarak ideal antara mini market yang satu dengan yang lainnya. Apakah harus 100 meter, 200 meter atau 2 km. Yang diatur dalam masalah ini adalah terkait dengan jumlah mini market dalam satu kawasan.
Dalam satu kawasan, lanjut dia, bisa saja jumlah minimarket-nya banyak dan ada pula yang sedikit. Jumlah minimarket ini akan disesuaikan dengan luas wilayah, jumlah penduduk dan kebutuhan penduduk setempat. Sehingga, pemkot bisa mengendalikan persebaran minimarket yang sudah merambah perkampungan warga tersebut. “Dengan cara seperti ini tampaknya ada kesesuaian antara kebutuhan warga dengan jumlah minimarket itu sendiri, sehingga tidak semrawut seperti sekarang,” katanya.
Dalam perwali itu sendiri, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pengusaha ritel untuk mendirikan usahanya. Izin pembukaan minimarket itu meliputi, zoning (peruntukan lahan), izin gangguan (HO), izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin usaha perdagangan (SIUP). Semua izin itu nantinya harus dipenuhi pengusaha minimarket. Bila, masih ada yang tidak mengantongi izin itu secara lengkap pemkot akan menindaknya.
Masih menurut Arif, setelah diterbitkan perwali, pemkot akan melakukan pengecekan ulang mini market yang sudah punya izin dan tidak. Hal ini dilakukan untuk menegakan aturan sehingga keberadaan mini market tidak membuat usaha serupa milik warga menjadi hancur. Bahkan, pemkot tidak segan untuk menutup usaha ritel yang melanggar aturan.
“Walapun tidak mengatur jarak, tapi kami akan menutup mini market yang melanggar aturan. Dalam perwali ini kan pemkot sudah mengatur adanya zoning, yakni persebaran minimarket yang didasarkan pada kebutuhan dalam satu kawasan. Jadi, kalau ada satu wilayah yang jumlah mini marketnya melebihi perhitungan kebutuhan dan jumlah penduduknya, maka kami bisa menutupnya,” tandas Arif.
Sedangkan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Ir Togar Arifin Silaban mengatakan, jarak pendirian memang tidak diatur dalam perwali, tapi mini market tetap harus mengurus izin zoning untuk penentuan kawasan. Apakah, kawasan yang akan didirikan mini market bisa digunakan untuk usaha perdagagan atau tidak. Kemudian yang bersangkutan harus mengajukan izin gangguan (HO) di BLH. Selain mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB) di DCKTR pengusahanya harus mengajukan izin usaha toko modern ke dinas perdagangan dan perindustrian. “Nah saat mengajukan perizinan itu pemkot bisa mengatur soal jaraknya,” kata Togar.pur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar